Kehidupanekonomi masyarakat kerajaan Tarumanegara mengandalkan pertanian dan perdagangan. Hal ini dibuktikan dari isi Prasasti Tugu mengenai penggalian sungai Candrabaga dan Gomati. Penggalian kedua sungai ini merupakan bukti bahwasanya selain untuk menghindari banjir , tujuannya juga digunakan untuk kegiatan irigasi-irigasi pertanian.
Diwilayah Jawa Barat muncul Kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Berita munculnya Kerajaan Sunda dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di gunung Wukir, Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Dalam prasasti Canggal disebutkan bahwa Sanjaya telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja daerah Wukir. Ia adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Kitab Carita Parahyangan dinyatakan bahwa Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dengan Raja Sena. Raja Sena berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke gunung Merapi beserta keluarganya. Selanjutnya Sanjaya, putra Sanaha berkuasa di waktu kemudian, Sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Mataram, sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada putranya, Rahyang Tamperan. Sampai sekarang, para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh Sanna dan Sanjaya didalam prasasti Canggal dengan Raja Sena dan Sanjaya didalam Kitab Carita waktu yang cukup lama tidak dapat diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul kembali pada abad ke 11 1030 ketika dibawah pemerintahan Maharaja Sri Jayabhupati. Nama Maharaja Sri Bhupati terdapat pada prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Bantarmuncang ditepi sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti ini berangka tahun 952 Saka 1030 M, berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Isinya antara lain menyebutkan bahwa Maharaja Sri Bhupati Jayamanahen Wisnumurti Samararijaya Sakalabhuwana Mandalesrananindhita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa berkuasa di Prahajyan Sanghyang Tapak juga berisi pembuatan daerah terlarangan disebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah ini berupa sebagian dari sungai yang ditandai dengan batu besar dibagian hulu dan hilir oleh Raja Jayabhupati penguasa kerajaan Sunda. Didaerah larangan itu, orang tidak boleh menangkap ikan dan segala hewan yang hidup di sungai tersebut. Siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa. Orang yang terkena kutukan sangat mengerikan karena akan terbelah kepalanya, terminum darahnya, dan terpotong-potong ususnya. Tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan agar ikan dan binatang lainnya tidak gelar yang digunakannya menunjukkan ada kesamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur. Selain itu masa pemerintahannya juga bersamaan. Ada dugaan bahwa diantara kedua kerajaan itu ada hubungan atau pengaruh. Namun Sri Jayabhupati menegaskan bahwa dirinya sebagai Haji ri Sunda Raja di Sunda. Demikian jelas bahwa Jayabhupati bukan merupakan raja bawahan masa pemerintahan Sri Jayabhupati, pusar kerajaan Sunda adalah Pakwan Pajajaran. Akan tetapi, tidak lama kemudian pusat kerajaannya dipindahkan ke Kawali daerah Cirebon sekarang. Kawali dekat dengan Galuh, yakni pusat Kerajaan Sunda masa yang dianut Sri Jayabhupati ialah Hindu aliran Wisnu atau Hindu Haisnawa. Hal ini dapat diketahui dari gelarnya, yaitu Wisnumurti, agama yang sama dianut oleh Airlangga. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa pada abad ke-11 agama yang berkembang di Jawa adalah Hindu masa pemerintahan Jayabhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di Kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka. Putri itu akan dijadikan istri oleh raja Majapahit, Hayam Wuruk. Raja Sunda beserta para pengiringnya datang ke Majapahit mengantarkan putrinya untuk menikah. Akan tetapi, Gajah Mada menginginkan agar putri itu dipersembahkan sebagai tanda makhluk. Akhirnya timbul perang. Gajah Mada ingin memaksakan kehendaknya, sebab kerajaan Sunda adalah satu-satunya kerajaan yang belum tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti, sumpah palapa tidak bisa terwujud sepenuhnya. Kebetulan, raja Sunda datang untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Ini adalah kesempatan yang baik untuk menaklukkan Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1357. Kekuatan tentara Sunda tidak seimbang dengan kekuatan tentara Gajahmada. Dalam pertempuran itu, Raja Sunda bersama putrinya Dyah Pitaloka dan pengiringnya terbunuh. Kematian raja Sunda dan calon istrinya membuat Raja Hayam Wuruk marah besar kepada Gajah Mada. Gajah Mada kemudian diberhentikan sebagai Mahapatih Majapahit. Sejak itulah hubungan antara Hayam Wuruk dengan Gajah Mada Maharaja digantikan oleh putranya yang bernama Rahyang Nsikala Wastu Kancana. Menurut kitab Carita Parahyangan, pada waktu terjadi perang Bubat, Wastukancana baru berumur 5 tahun. Ia tidak ikut ke Majapahit sehingga selamat dari kematian. Dalam pemerintahan, Wastukancana diwakili oleh Rahyang Bunisora yang berlangsung sekitar 14 tahun 1357 â 1371. Setelah naik takhta, Wastu Kancana sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia memerintah sesuai dengan undang-undang dan taat pada agamanya. Oleh karena itu, kerajaannya aman dan makmur. Masa pemerintahan Wastu Kancana cukup lama 1371 â 1471.Pengganti Wastu Kancana adalah Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Ia memegang pemerintahan selama tujuh tahun 1471 â 1478. Setelah itu, kerajaan Sunda berada dibawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata 1482 â 1521. Pada prasasti kebantenan, Jayadewata disebut sebagai Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batu Tulis, Sang Ratu Jayadewata disebut dengan nama Sri Baduga Maharaja. Ia adalah putra dari Ningrat Kancana. Dibawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaannya. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia juga memerintahkan membuat parit disekeliling ibu kota kerajaan yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu, sehingga kerajaan menjadi aman, tentram dan Ratu Jayadewata, telah memperhitungkan adanya pengaruh Islam yang makin meluas di Kerajaan Sunda. Untuk mengantisipasinya, Sang Ratu menjalin hubungan dengan Portugis di Malaka. Dari berita Portugis, dapat diperoleh keterangan bahwa pada tahun 1512 dan 1521, Ratu Samiam dari Kerajaan Sunda memimpin perutusan ke Malaka untuk mencari sekutu. Pada waktu itu, Malaka telah berada dibawah kekuasaan tahun 1522, perutusan Portugis dibawah pimpinan Hendrik de Leme datang ke Kerajaan Sunda. Pada waktu itu, Kerajaan Sunda berada dibawah pemerintahan Ratu Samiam. Ratu Samiam menurut para ahli sama dengan Prabu Surawisesa yang disebut dalam kitab Carita Parahyangan. Masa pemerintahannya berlangsung dari tahun 1521 â 1535. Jika hal itu benar maka pada waktu ia memimpin perutusan ke Malaka, Surawisesa masih menjadi putra masa pemerintahannya, terjadi serangan tentara Islam dibawah pimpinan Maulana Hasanuddin dari Kerajaan Banten. Beberapa kali tentara Islam berusaha merebut ibukota Kerajaan Sunda, tetapi belum berhasil. Pada tahun 1527, Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam. Akibatnya, hubungan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman dengan daerah luar terputus. Satu per satu, pelabuhan Kerajaan Sunda jatuh ke tangan kekuasaan Kerajaan Banten sehingga Raja Sunda terpaksa bertahan di Surawisesa digantikan oleh Prabu Ratu Dewata 1535 â 1543. Kerajaan Sunda hanya bertahan di pedalaman. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan Sunda dari Kerajaan Banten. Hal ini sesuai dengan Kitab Puwaka Caruban Nagari yang berkaitan dengan sejarah Cirebon. Dalam naskah tersebut, dinyatakan bahwa pada abad ke-15 di Cirebon telah berdiri perguruan Islam jauh sebelum Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati berdakwah menyebarkan agama Dewata kemudian diganti oleh Sang Ratu Saksi 1543 â 1551. Ia seorang raja yang kejam dan senang berfoya-foya. Ratu Saksi kemudian digantikan oleh Tohaan di Majaya 1551 â 1567. Ia juga seorang raja yang suka berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Raja terakhir kerajaan Sunda adalah Nusiya Mulya. Kerajaan Sunda sudah lemah sekali sehingga tidak mampu bertahan dari serangan tentara Islam dari Banten dan runtuhlah Kerajaan Sunda di Jawa Sosial EkonomiBerdasarkan Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian, kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Sunda dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai rohani dan cendekiawanKelompok rohani dan cendekiawan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kemampuan dibidang tertentu. Misalnya, Brahmana yang mengetahui berbagai macam mantra, pratanda yang mengetahui berbagai macam tingkat dan kehidupan keagamaan, Janggan yang mengetahui berbagai macam cerita, paraguna mengetahui berbagai macam lagu atau nyanyian, dan prepatun yang memiliki berbagai macam cerita aparat pemerintahKelompok masyarakat sebagai alat pemerintah negara, misalnya Bhayangkara bertugas menjaga keamanan, prajurit tentara, dan hulu jurit kepala prajurit.Kelompok ekonomiKelompok ekonomi adalah orang-orang yang melakukan kegiatan ekonomi. Misalnya juru lukis pelukis, pande mas perajin emas, pande dang pembuat perabot rumah tangga, pesawah petani, dan palika nelayan.Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup mendapat perhatian. Meskipun pusat kekuasaan Kerajaan Sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa dan Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan kegiatan perdagangan, pertanian merupakan kegiatan mayoritas rakyat Sunda. Berdasarkan kitab Carita Parahyangan dapat diketahui bahwa kehidupan ekonomi masyarakat Kerajaan Sunda umumnya bertani, khususnya berladang berhuma. Misalnya pahuma peladang, panggerek pemburu, dan penyadap. Ketiganya merupakan jenis pekerjaan di ladang. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan selalu berpindah-pindah. Hal ini merupakan salah satu bagian dari tradisi sosial Kerajaan Sunda yang dibuktikan dengan sering pindahnya pusat Kerajaan bertani, kehidupan masyarakat kerajaan Sunda juga berdagang. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya enam buah kota bandar yang cukup penting dan ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai daerah atau bangsa lain. Melalui ke enam bandar tersebut, dilakukan usaha perdagangan dengan pihak BudayaKehidupan masyarakat kerajaan Sunda adalah peladang sehingga sering berpindah-pindah. Oleh karena itu, Kerajaan Sunda tidak banyak meninggalkan bangunan yang permanen, seperti keraton, candi, dan prasasti. Candi yang paling dikenal dari kerajaan Sunda adalah Candi Cangkuang yang berada di Leles, Garut, Jawa budaya masyarakat kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tertulis maupun lisan. Bentuk sastra tertulis misalnya kitab Carita Parahyangan, sedangkan bentuk sastra lisan berupa pantun, seperti Haturwangi dan Dwi Ari. 2009. Sejarah Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Indonesia Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya Kehidupan Politik Keraja - Sunda: Pulitik, Sosial, Ăkonomi jeung Budaya Kahirupan Pulitik Kara Perkembangan dunia pendidikan di Jawa Barat telah berjalan sejak masa prasejarah, walaupun sistem pendidikan yang berlaku pada waktu itu tidak dapat diketahui dengan pasti. Pada masa Kerajaaan Sunda yang eksis dari abad ke-8 hingga abad ke-16, sistem pendidikan yang terdapat di Tatar Sunda dipastikan banyak dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha. Hal ini terbukti dari naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang disusun pada tahun 1518 di mana di dalamnya ada kata-kata pamagahan nasehat, warah sing darma didikan pendeta, dan yang lebih jelas lagi telah hidup istilah sisya siswa atau murid dan guru, yang menunjukkan sudah dikenalnya suatu sistem pendidikan. Adapun keberadaan sistem dan kegiatan pendidikan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat muslim di Tatar Sunda itu sendiri, sejalan dengan kemunculan dan perkembangan agama Islam yang terjadi di wilayah tersebut. Menurut Edi S Ekadjati, mengutip Hageman, awal persentuhan masyarakat Tatar Sunda dengan ajaran Islam bermula dari kedatangan orang Islam pertama di Tatar Sunda yaitu Haji Purwa ke Cirebon Girang dan Galuh pada tahun 1250 J/1337 M yang bermaksud menyebarkan agama Islam. Namun keterangan ini belum bisa dipastikan kebenarannya karena Hageman tidak menunjukkan referensi yang tergolong sumber primer. Menurut sebuah informasi pada tahun 1418 M telah datang ke Negeri Singapura, rombongan pedagang dari Campa, di antaranya terdapat Syekh Hasanudin bin Yusuf Sidik seorang ulama yang setelah beberapa saat tinggal di sini, pergi menuju Karawang dan menetap di Karawang dengan membuka lembaga pendidikan yang bernama Pesantren Quro. Pada abad ke-16, kondisi Islam di beberapa daerah di Indonesia sudah mulai kokoh. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya kerajaaan-kerajaaan Islam sebagai pusat kekuasaaan politik Islam seperti Kesultanan Cirebon, Banten dan Demak. Walaupun di ketiga kesultanan tersebut tidak disebutkan adanya sebuah pesantren sebagai institusi, namun setidak-tidaknya di ketiga kesultanan tersebut sudah terdapat masjid sebagai pusat kegiatan pendidikan Islam yang menerapkan pola pendidikan seperti pesantren sekarang. Di Pondok Quro ini dibangun sebuah masjid, yang saat ini dikenal sebagai Masjid Agung Karawang. a Kehidupan Politik. Dalam waktu yang cukup lama tidak dapat diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul kembali pada abad ke-11 (1030) ketika di bawah pemerintahan Maharaja Sri Jayabhupati. Nama Maharaja Sri Jayabhupati terdapat pada Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan Kerajaan Sunda berdiri pada tahun 669 Masehi. Kerajaan yang memiliki nama lain Pasundan dan Pakuan Pajajaran ini meliputi wilayah yang saat ini menjadi bagian dari Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah. Kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Keruntuhan kerajaan ini dipicu oleh berbagai hal antara lain karena serangan yang dilancarkan oleh Kesultanan Banten, selain itu setelah mangkatnya Prabu Siliwangi tidak ada pemimpin penerus yang memiliki kemampuan seperti dirinya. Artikel ini mengulas sejarah Kerajaan Sunda dari awal berdiri hingga berbagai prasasti peninggalannya. Sejarah lahirnya Kerajaan Sunda1. Akhir dari Kerajaan Tarumanegara2. Bersatunya Kerajaan Sunda dan Kerajaan GaluhLetak geografis dan wilayah kekuasaanMengenal Kerajaan Sunda lebih dalam1. Kehidupan politik dan militer2. Kehidupan ekonomi3. Kehidupan sosial dan budayaSilsilah rajaMasa kejayaanTragedi BubatRuntuhnya Sang Pakuan PajajaranPeninggalan dan sumber sejarah1. Prasasti Batu Tulis2. Prasasti Huludayeuh3. Prasasti Ulubelu4. Prasasti Cikapundung5. Prasasti Pasir Datar6. Prasasti Kebon Kopi II7. Padrao Sunda Kelapa8. Karangmulyan9. Catatan sejarahMisteri Kerajaan Sunda1. Langkanya peninggalan candi yang ditemukan2. Macan dan Prabu Siliwangi Sejarah lahirnya Kerajaan Sunda Ilustrasi Kerajaan Sunda. Sumber 1. Akhir dari Kerajaan Tarumanegara Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda memiliki hubungan yang dekat. Menurut Naskah Wangsakerta, Kerajaan Tarumanegara menaklukkan daerah Sunda Pajajaran sekitar Sungai Cipakancilan, Bogor dan menjadikannya sebagai bawahan. Kerajaan Tarumanegara yang berdiri tahun 358 Masehi lebih dulu membesarkan kerajaannya. Tarusbawa, sang pemimpin Sunda menikahi putri sulung raja Tarumanegara, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi, yang bernama Dewi Manasih. Tarusbawa menjadi menantu raja dan mendapatkan peran dalam pemerintahan Kerajaan Tarumanegara. Raja Linggawarman yang baru saja menduduki tahta raja selama tiga tahun jatuh sakit dan meninggal pada 669 Masehi. Posisi kepala pemerintahan diberikan kepada Tarusbawa dan Tarumanegara digantikan oleh Kerajaan Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka 18 Mei 669 Masehi. Pada saat ini, Kerajaan Galuh yang semulanya berada di bawah Tarumanegara melepaskan diri dan membentuk pemerintahannya sendiri. Tarusbawa yang ingin melanjutkan amanah mertuanya menyetujui hal tersebut dan mulai membagi wilayah kekuasaan. Sungai Citarum menjadi pembagi kedua wilayah. Sebelah barat sungai untuk Sunda dan sebelah timur sungai untuk Galuh. 2. Bersatunya Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh Sebelum pemerintahan Tarusbawa berakhir, cucunya yang bernama Nay Sekarkancana dinikahkan dengan Rahyang Sanjaya dari Galuh. Kondisi Kerajaan Galuh pada tahun 716 Masehi mengalami gejolak. Raja ketiga Galuh, Sena, dikudeta oleh Purbasora yang juga merupakan saudara tirinya. Alhasil Tarusbawa bersama Sanjaya melakukan penyerangan untuk merebut kembali kekuasaan Galuh. Setelah sukses meraih kemenangan, Sanjaya menyatukan Kerajaan Sunda dan Galuh di bawah pimpinannya. Bersatunya Kerajaan Sunda-Galuh tidak bertahan lama. Anak Sanjaya, Rakeyan Panaraban, membagi kedua kerajaan kembali kepada kedua anaknya, Sang Manarah atau yang biasa disebut Ciung Wanara dalam cerita rakyat dan Sang Bang atau dikenal dengan Hariang Banga, untuk menghindari perebutan kekuasaan. Ciung Wanara di Galuh dan Hariang Banga di Sunda. Ratusan tahun berlalu dan kedua kerajaan tetap bertahan melampaui waktu. Konflik demi konflik muncul namun berhasil diselesaikan. Titik puncak Kerajaan Sunda dan Galuh berada pada era kemunduran Kerajaan Majapahit. Sekitar tahun 1400-an Masehi, Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, anggota keluarga kerajaan dan segenap rakyatnya mengungsi ke Kawali, ibukota Galuh sekarang sekitar Kuningan, Jawa Barat. Galuh yang waktu itu dipimpin oleh Dewa Niskala dengan senang hati menerima mereka. Bahkan menjodohkan salah satu putrinya dengan kerabat Prabu Kertabumi. Ia juga mempersunting dari salah satu pengungsi. Di sisi lain, Sunda yang kala itu dipimpin oleh Susuktunggal tidak terima dengan pernikahan antara orang Sunda-Galuh dengan Majapahit mengingat perjanjian yang dibuat akibat peristiwa Bubat. Dewa Niskala bersedia menghapuskan aturan dan tradisi sedangkan Susuktunggal teguh menetapkannya. Lantas kedua kerajaan damai tersebut malah berperang. Demi kebaikan kedua pihak, penasihat-penasihat kedua kerajaan menyarankan untuk menunjuk penguasa baru dan kedua raja tahta. Mereka bersedia dengan jalan damai dan menunjuk Jayadewata atau lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Prabu Siliwangi adalah putra Dewa Niskala yang menikahi Ambet Kasih, putri Susuktunggal. Setelah naik menjadi raja, Prabu Siliwangi bergelar Sri Baduga Maharaja. Pada tahun 1482, ia memutuskan untuk menyatukan kembali kedua kerajaan menjadi Kerajaan Sunda-Galuh Pajajaran. Letak geografis dan wilayah kekuasaan Wilayah kekuasaan Sunda pada masa kejayaannya. Sumber Wilayah Sunda sewaktu masih menjadi bawahan Tarumanegara berada di hulu sungai Cipakancilan, sekitar Bogor sekarang. Kemudian setelah mendirikan Kerajaan Sunda, kerajaannya berlokasi di sebelah barat Sungai Citarum yang menjadi batas geografis dengan Kerajaan Galuh. Pusat kerajaannya pada masa awal berada di Parahyangan Sunda atau Priangan sekitar utara dari Bandung. Sedangkan Galuh beribukota di Kawali sekitar Kuningan. Kerajaan Sunda meluaskan wilayahnya ke arah barat dan selatan Jawa Barat mencakup Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Bandung. Sedangkan Kerajaan Galuh ke arah timur dan utara yang meliputi Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Sumedang. Ketika mencapai masa emasnya, Kerajaan Sunda berhasil mengepakkan sayapnya hingga ke Banten dan Lampung. Di situlah ia menamakan lautan yang memisahkan kedua pulau dengan nama Selat Sunda. Sejauh ini ia berhasil menaungi hampir setengah dari Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, setelah menyatukan kembali kedua kerajaan, ibukota dipindahkan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran sekarang Bogor. Pakuan sendiri memiliki arti kota dalam Bahasa Sunda kuno. Letak geografis Kerajaan Sunda yang berpusat di daerah lereng gunung membuatnya maju di bidang perkebunan dan pertanian. Dialiri banyak sungai sehingga akses transportasi juga menggunakan kapal. Di sisi militer, menguntungkan kerajaan karena bisa menggunakan gunung sebagai kekuatan alami untuk menahan musuh yang datang dari bawah atau dataran rendah. Mengenal Kerajaan Sunda lebih dalam Setelah berkilas balik tentang berdirinya kerajaan di tanah Sunda, mari kita mengintip bagaimana kehidupan dalam berbagai aspek di Kerajaan Sunda. 1. Kehidupan politik dan militer Pemerintahan era lampau tidak lepas dari kata kerajaan. Sebuah kerajaan umumnya dipimpin oleh seorang raja dan menerapkan sistem patriarki yang kuat, sistem di mana laki-laki adalah pemegang kekuasaan dan memiliki peran politik utama. Kerajaan Sunda dipimpin oleh raja-rajanya. Apabila raja memiliki keturunan laki-laki maka otomatis dinaikkan menjadi penerus selanjutnya. Jika tidak memiliki anak laki-laki, biasanya akan diberikan kepada kerabat atau suami dari anak perempuannya. Raja-raja tidak hanya berdiri sendiri. Ia membutuhkan bantuan dari dewan penasihat, panglima perang, dan prajuritnya untuk bersama-sama menjalankan pemerintahan. Mereka tidak setara, raja masih di atas mereka semua, namun saran dan perkataannya berpengaruh bagi raja. Berdasarkan sumber-sumber sejarah, Kerajaan Sunda memiliki undang-undang tentang pemungutan upeti untuk menghindari penyelewengan dalam proses berjalannya dari para petugas. Di bidang militer, Kerajaan Pakuan Pajajaran ini terkenal dengan reputasinya untuk menahan serangan dengan baik. Dibuktikan dengan kegagalan Kerajaan Majapahit untuk menguasai bumi Sunda. Hal ini dikarenakan setelah terjadinya peristiwa Bubat, para pemimpin setelahnya menggencarkan kekuatan militer dengan menambah pasukan dari golongan pemuda dan cakap membuat strategi perang. 2. Kehidupan ekonomi Rakyat Sunda mayoritas hidup sebagai petani, peternak, pekebun, dan pedagang. Mengingat kondisi geografis wilayah Sunda yang banyak bermukim di lereng gunung, hasil pertaniannya meliputi teh, lada, beras, asam Jawa, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Untuk bidang ternak, banyak yang memelihara sapi, babi, kambing, dan biri-biri. Selain di sektor agribisnis, beberapa rakyat juga memiliki pekerjaan sebagai pelukis, pande mas pengrajin emas, pande dang pembuat alat-alat rumah tangga, dan nelayan. Perdagangan biasanya dilakukan di pasar dan pelabuhan di sungai-sungai. Selama masa hidupnya Sunda, terdapat enam pelabuhan utama yaitu Banten, Cigede, Tomgara, Pontang, Sunda Kalapa, dan Cimanuk sekarang Pamanukan. Masing-masing pelabuhan dikepalai oleh Syahbandar yang diutus oleh raja untuk mengatur jalannya perdagangan dan akses transportasi. 3. Kehidupan sosial dan budaya Kehidupan bersosial dalam Kerajaan Sunda tidak lepas dari penggolongan sosial. Mereka terbagi menjadi empat kelompok, yakni kelompok rohani atau agama, cendikiawan, aparat kerajaan, dan ekonomi. Kelompok rohani meliputi brahmana, pratanda, dan janggan yang mengetahui tentang ritual pemujaan, berbagai macam mantra, dan kehidupan keagamaan. Kelompok cendikiwan adalah mereka yang memiliki kemampuan intelektual seperti memen yang tahu banyak cerita, paraguna yang tahu banyak lagu dan nyanyian, serta prepatun yang tahu banyak pantun. Aparat kerajaan adalah mereka yang bertugas di pemerintahan, misalnya prajurit, hulu jurit semacam panglima perang, dan bhayangkara semacam polisi. Terakhir, mereka yang hidup di sektor ekonomi seperti petani, peternak, pedagang, nelayan, dan lain-lain. Dari segi kebudayaan, kerajaan satu ini melahirkan budaya Sunda yang sampai sekarang ada mulai dari bahasa, aksara, tari-tarian, dan musiknya. Kebudayaan ini awalnya merupakan percampuran dari budaya Hindu dengan budaya leluhur. Agama Hindu menjadi agama yang dianuti dan dipraktikkan dalam berkehidupan di kerajaan. Sunda juga gemar untuk meninggalkan prasasti sebagai bukti atas suatu peristiwa atau cerita. Silsilah raja Menurut Naskah Pangeran Wangsakerta, inilah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda dari tahun ke tahun. Tarusbawa menantu Linggawarman, 669-723 Sanjaya atau Harisdarma menantu Tarusbawa, 723-732 Tamperan Barmawijaya 732-739 Rakeyan Banga atau Hariang Banga 739-766 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766-783 Prabu Gilingwesi menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783- -795 Pucukbumi Darmeswara menantu Prabu Gilingwesi, 795-819 Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon 819-891 Prabu Darmaraksa adik ipar Rakeyan Wuwus, 891-895 Windusakti Prabu DĂ©wageng 895-913 Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi 913-916 Rakeyan Jayagiri menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916-942 Atmayadarma Hariwangsa 942-954 Limbur Kancana putra Rakeyan Kamuning Gading, 954-964 Munding Ganawirya 964-973 Rakeyan Wulung Gadung 973-989 BrajawisĂ©sa 989-1012 DĂ©wa Sanghyang 1012-1019 Sanghyang Ageng 1019-1030 Sri Jayabupati atau Detya Maharaja 1030-1042 Darmaraja atau Sang MoktĂ©ng Winduraja 1042-1065 Langlangbumi atau Sang MoktĂ©ng Kerta 1065-1155 Rakeyan Jayagiri Prabu MĂ©nakluhur 1155-1157 Darmakusuma atau Sang MoktĂ©ng Winduraja 1157-1175 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175-1297 Ragasuci atau Sang MoktĂ©ng Taman 1297-1303 Citraganda atau Sang MoktĂ©ng Tanjung 1303-1311 Prabu LinggadĂ©wata 1311-1333 Prabu Ajiguna LinggawisĂ©sa 1333-1340 Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350 Prabu Maharaja LinggabuanawisĂ©sa 1350-1357 Prabu Bunisora 1357-1371 Prabu Niskala Wastukancana 1371-1475 Prabu Susuktunggal 1475-1482 JayadĂ©wata atau Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja menantu Prabu Susuktunggal, 1482-1521 Prabu SurawisĂ©sa 1521-1535 Prabu DĂ©watabuanawisĂ©sa 1535-1543 Prabu Sakti 1543-1551 Prabu NilakĂ©ndra 1551-1567 Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana 1567-1579 Masa kejayaan Dari seluruh raja yang telah disebutkan sebelumya, masa emas Kerajaan Sunda terjadi pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Ceritanya yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi masih dibangga-banggakan sampai sekarang. Pertama, ia membuktikan dalam bentuk fisik. Karena baru saja menyatukan Sunda dan Galuh dengan ibukota Pakuan Pajajaran, tata kota dan wilayah kerajaan harus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan kehidupan kerajaan dan rakyatnya. Jayadewata membangun jalan dari Pakuan Pajajaran sampai ke Wanagiri sekarang Wonogiri, membuat telaga besar yang dinamakan Maharena Wijaya untuk sumber air baru, membuat pamingtonan semacam tempat hiburan dan pagelaran, serta membuat kabinihajian atau kaputren semacam tempat tinggal untuk para putri dan prajurit. Tak lupa juga ia membangun sarana dan prasarana keagamaan dan spiritual untuk mendorong masyarakat melakukan kegiatan keagamaan bersama-sama. Benteng-benteng yang sudah ada juga diperkokoh lagi olehnya. Dari segi hukum ia menetapkan undang-undang untuk mengatur kehidupan kerajaan dan masyarakat, terutama untuk urusan pemungutan upeti. Sektor ekonomi juga maju karena memaksimalkan kekuatan perdagangan jalur air dengan pelabuhannya. Wilayah juga berhasil diperluas hingga ke Lampung di Pulau Sumatera. Kedaulatan kerajaan masih dipertahankan meskipun adanya ancaman dari Kerajaan Majapahit. Tragedi Bubat Ilustrasi Perang Bubat dari Peristiwa Bubat, peristiwa besar yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit. Ini terjadi pada masa pemerintahan Prabu Maharaja Linggabuana. Kala itu, Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit jatuh hati pada lukisan putri Linggabuana, Dyah Pitaloka Citraresmi. Ia ingin mempersunting Dyah Pitaloka sekaligus mempererat hubungan kedua kerajaan dengan ikatan pernikahannya. Nyatanya, Raden Wijaya sang pendiri Majapahit adalah keturunan Sunda karena ayahnya adalah Rakeyan Jayadarma, raja Sunda. Dengan niat kebaikan tersebut Hayam Wuruk mengirimkan undangan ke Sunda. Sesampainya surat lamaran tersebut, dewan penasihat keberatan dengan permintaannya karena pada masa itu, tidak lazim bagi perempuan untuk mendatangi pihak laki-laki. Mereka juga menduga bahwa ini adalah jebakan untuk bisa menaklukkan Sunda. Tetapi, Linggabuana memutuskan untuk berangkat ke Majapahit atas dasar ikatan persaudaraan leluhur. Rombongan Sunda berangkat membawa sang raja, permaisuri, putri Dyah Pitaloka, beberapa kerabat kerajaan, dan prajurit secukupnya. Setibanya di Majapahit, rombongan Sunda ditempatkan di Pesanggrahan Bubat Jawa Timur. Di sinilah tragedi tragis akan terjadi. Mahapatih Majapahit, Gajah Mada yang menjunjung tinggi Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara di bawah kuasa Majapahit, melihat ini sebagai bentuk tunduknya Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada bahkan menekan Hayam Wuruk untuk mengubah niatnya dari mengeratkan ikatan diplomatis menjadi pengakuan superioritas Majapahit. Berita ini sampai ke telinga Linggabuana dan tidak terima atas perlakuan Gajah Mada. Namun, tanpa seizin Hayam Wuruk, Gajah Mada melakukan penyerangan dengan pasukan yang berjumlah besar. Tak mundur dari perang, Linggabuana maju ke medan tempur walaupun pasukannya sangat kalah jumlah. Alhasil, hampir semua rombongan Sunda tewas di Lapangan Bubat termasuk sang raja. Mereka yang masih hidup hanya terdiri dari perempuan. Dyah Pitaloka tak sanggup menerima kenyataan dan memutuskan untuk mencabut nyawanya sendiri. Perempuan lain juga mengikuti aksi Dyah Pitaloka. Setelah perang Bubat, hubungan Majapahit dan Sunda rusak. Pemerintahan dilanjutkan oleh Prabu Niskala Wastu Kancana, putra Linggabuana dan adik Dyah Pitaloka. Kemudian diberlakukan hukum larangan estri ti luaran, yang berarti larangan untuk menikah dengan orang di luar Sunda. Dan sampai sekarang masih ada yang menerapkan peraturan tersebut di keluarganya orang Sunda dilarang untuk menikah dengan orang Jawa. Runtuhnya Sang Pakuan Pajajaran Kita sudah sampai di penghujung cerita Kerajaan Sunda. Layaknya hidup pasti akan sirna dan mati. Kerajaan Sunda Pajajaran setelah pemerintahan Prabu Siliwangi tidak mendapatkan pemimpin yang secakap dirinya. Ditambah lagi serangan Kesultanan Banten yang menggempur Pakuan Pajajaran. Pasukan Islam Banten mengambil singgasana raja yang disebut Palangka Sriman Sriwicana dan membawanya ke hadapan Maulana Yusuf. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa tidak ada raja lagi yang bisa dinobatkan untuk Kerajaan Pajajaran. Ialah yang akan menjadi penguasa untuk wilayah-wilayah Sunda karena dirinya juga adalah canggah keturunan keempat dari Sri Baduga Maharaja. Dan di sinilah akhir dari sejarah Kerajaan Sunda sekitar tahun 1579. Sisa-sisa anggota kerabat kerajaan menetap di Lebak dan hidup dengan mandala yang ketat. Kelanjutan dari anggota istana ini adalah terlahirnya Suku Baduy. Peninggalan dan sumber sejarah Bukti-bukti sejarah yang sudah ditemukan sekarang tentang Kerajaan Sunda tidak begitu banyak. Peninggalannya meliputi prasasti, situs sejarah, dan catatan atau naskah sejarah. Di antaranya sebagai berikut. 1. Prasasti Batu Tulis Prasasti Batu Tulis. Sumber Prasasti yang ditemukan di Batu Tulis, Bogor, adalah salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Sunda yang ditulis pada batu terasit, batu yang umum ditemukan di Sungai Cisadane. Ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Pembuatnya tak lain adalah Prabu Surawisesa, putra Prabu Siliwangi. Ia menuliskan jasa-jasa ayahnya serta penyesalannya karena tidak bisa mempertahankan Sunda dari serangan Kesultanan Banten dan Cirebon. 2. Prasasti Huludayeuh Prasasti Huludayeuh. Sumber Prasasti ini ditemukan di Huludayeuh, Cirebon dan ditulis dalam Bahasa Sunda kuno. Sayangnya, prasasti ini ditemukan dalam keadaan tidak utuh. Setelah lama dicari dan terkumpul, tulisan-tulisannya juga sudah tidak dapat diterjemahkan. Garis besar isi prasasti ini adalah usaha Sri Maharaja Ratu Haji memakmurkan kerajaan di Pakuan Pajajaran. 3. Prasasti Ulubelu Prasasti Ulubelu. Sumber Bukti bahwa wilayah kekuasaan Sunda telah mencapai Lampung ada pada prasasti ini karena ditemukan di Ulubelu, Tanggamus, Lampung. Dikatakan peninggalan Sunda karena ditulis dengan aksara Sunda kuno. Isi prasastinya adalah doa permintaan tolong kepada dewa-dewa Hindu, seperti Siwa, Brahma, dan Wisnu. Mereka berdoa kepada dewa untuk menjaga keselamatan dan keamanan kerajaan dari musuh. 4. Prasasti Cikapundung Prasasti Cikapundung. Sumber Ditemukan di Cikapundung, Ujungberung, prasasti ini tidak hanya dituliskan dengan aksara Sunda Kuno, tetapi juga memuat gambar wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. Isi dari Prasasti Cikapundung adalah pernyataan bahwa setiap manusia di muka bumi dapat mengalami kejadian apapun baik itu suka maupun duka, terbukti dalam kalimat unggal jagat jalmah hendap semua manusia di dunia akan mengalami sesuatu yang terdapat di prasasti. 5. Prasasti Pasir Datar Prasasti Pasir Datar. Sumber Lucunya, prasasti ini ditemukan di kebun kopi di Pasir Datar, Sukabumi. Terbuat dari batu alam dan merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Sunda yang misterius karena sampai sekarang belum ada terjemahan dari prasasti ini. 6. Prasasti Kebon Kopi II Prasasti Kebon Kopi II. Sumber Ketika menebang hutan untuk lahan kebun kopi, prasasti ini dengan tidak sengaja ditemukan. Terletak di Pasir Muara, Bogor, dan berdekatan dengan Prasasti Kebon Kopi I. Ini menjadi peninggalan Sunda karena berisi tentang Rakeyan Jayagiri yang menduduki tahta sebagai raja Sunda. Prasasti ini diukir sekitar tahun 932 Masehi. Sedangkan Prasasti Kebon Kopi I menjadi peninggalan Tarumanegara karena terdapat telapak kaki gajah tunggangan Purnawarman yang merupakan raja Tarumanegara. 7. Padrao Sunda Kelapa Padrao Sunda Kelapa. Sumber Kerajaan Sunda juga menjadi saksi kedatangan Bangsa Eropa ke nusantara, khususnya Pulau Jawa. Sebuah perjanjian dibuat antara Portugis dengan Sunda yang ditandai dengan padrao tugu batu. Enrique Leme dari Portugis dan Prabu Surawisesa dari Sunda yang menjadi saksi perjanjian tersebut. Isi dari padrao adalah izin untuk membangun benteng dan gudang perdagangan bagi Portugis. Tempat membangunnya adalah tempat padrao ini dibuat, yakni di Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. 8. Karangmulyan Situs Karangmulyan. Sumber Kawasan ini dijadikan cagar budaya oleh pemerintah sekarang. Terletak di Cijeungjing, Ciamis, situs sejarah ini merupakan peninggalan Kerajaan Galuh sewaktu dipimpin oleh Ciung Wanara yang juga keturunan Sunda. Kehidupan pernah berlangsung di sini sejak abad sembilan dibuktikan dengan penemuan keramik Dinasti Ming. 9. Catatan sejarah Cerita sejarah Kerajaan Sunda-Galuh Pajajaran dapat dilacak dari catatan sejarah yang dibuat oleh orang-orang pada masa kerajaan dan sumber-sumber asing. Di antaranya adalah Naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, Sanghyang Siksakanda Ng Karesian, Sajarah Banten, Wangsakerta, Kitab Kidung Sundayana, serta berita asing dari Tome Pires tahun 1513 dan Pigafetta tahun 1522. Sayangnya pengarang naskah-naskah yang dibuat oleh rakyat Sunda tidak diketahui sampai sekarang. Misteri Kerajaan Sunda 1. Langkanya peninggalan candi yang ditemukan Meski banyak bukti yang ditemukan tentang kehidupan dan keberadaan Kerajaan Sunda, masih ada hal yang mengganjal tentang kerajaan satu ini. Sejauh ini, sangat jarang ditemukan candi-candi peninggalan Kerajaan Sunda. Padahal, kehidupan keagamaannya dapat dikatakan taat dan kental dengan ajaran Hindu. Kemungkinan besar hal ini diakibatkan oleh kebiasaan masyarakat yang sering berpindah tempat atau nomaden. Ketika ladang sudah tidak maksimal lagi untuk bertani, maka mereka akan pindah mencari tempat baru sehingga bangunan permanen kadang tidak banyak berdiri seperti keraton. 2. Macan dan Prabu Siliwangi Ilustrasi Prabu Siliwangi dan macan. Sumber Raja yang membawa Sunda mencapai kejayaannya ini juga turut memberikan misteri. Macan atau dalam Bahasa Sunda maung sering dikaitkan dengan sang prabu karena cerita legenda menghilangnya Prabu Siliwangi di hutan Sancang ketika dikejar musuh dari Banten dan Cirebon. Ia meninggalkan wangsit untuk Kerajaan Pakuan Pajajaran tersebut. Ia berkata, âlamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maungâ jika aku sudah tidak menemanimu, lihatlah tingkah laku macan atau harimau. Perkataan tersebut semakin dipercaya bahwa Jayadewata memiliki kekuatan untuk menghilang dan menjelma menjadi macan oleh masyarakat. Untungnya, setelah dilakukan penelitian, kata-kata tersebut mengartikan bahwa jika sang prabu sudah tiada maka lihatlah sifat dan karakteristik macan untuk memimpin Sunda. Macan dideskripsikan sebagai binatang yang tegas, berani, tetapi juga sayang dengan keluarganya. Yang menjadi ganjal adalah, kita tidak pernah tahu apakah Prabu Siliwangi benar-benar menghilang dan menjadi macan lalu kembali setelah berhari-hari menghilang. Sekian cerita tentang kerajaan yang bertahan beratus tahun di tanah Sunda ini. Jangan lupa untuk sebarkan tuliskan ini jika bermanfaat. Terima kasih banyak. 1906/2022. Kerajaan Sunda - Seperti yang diketahui bersama, salah satu kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Indonesia yang berlokasi di Jawa Barat adalah Kerajaan Sunda. Nah, pada artikel kali ini kita akan mengulas Kerajaan Sunda, mulai dari sejarah berdirinya, masa kejayaan 4 orang raja, kemunduran kerajaan, hingga apa saja peninggalanPadakesempatan kali ini artikel yang kami sajikan mengupas tentang kehidupan sosial - politik kerajaan Pajajaran. Bermula dari kehidupan masyarakat pajajaran pada saat itu yang beragam profesi, hingga raja-raja yang memerintah di kerajaan Pajajaran, puncak keemasan kerajaan Pajajaran sampai keruntuhan kerajaan Pajajaran.
- Kerajaan Sunda-Galuh atau Pajajaran merupakan penyatuan dua kerajaan yang pernah menancapkan kekuasaannya dari abad ke-8 hingga ke-16 Masehi. Sejarah berdirinya dua kerajaan di tanah Sunda Jawa Barat ini tidak terlepas dari naskah kuno Carita Parahiyangan yang ditulis abad ke-16 M. Dua kerajaan ini merupakan pecahan Kerajaan Tarumanegara. Ini merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang menguasai telatah Sunda pada abad ke-5 hingga runtuh pada abad ke-7. Tarumanegara adalah kerajaan yang menganut agama Hindu beraliran Tarumanegara tamat pada sekitar tahun 650 M lantaran serbuan dari Kerajaan Sriwijaya, muncul dua kerajaan baru di tanah Pasundan, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Parahiyangan menjelaskan mengenai Kerajaan Galuh dimulai sewaktu Rahiyangta ri Medangjati yang menjadi pemimpin selama 15 tahun. Kemudian, kekuasaan diwariskan kepada puteranya di Galuh yaitu Sang juga Sejarah Tarumanegara & Daftar Prasasti Peninggalannya Pesona Ratu Harisbaya Memicu Konflik Sumedang vs Cirebon Sejak Zaman Tarumanegara, Jakarta Sudah Langganan Banjir Sejarah dan Pusat Kerajaan Hasil penelitian bertajuk "Rekonstruksi Kerajaan Galuh Abad VIII-XV" karya Nina Herlina Lubis dan kawan-kawan yang terhimpun dalam Jurnal Paramita Volume 26, 2016 mengungkapkan bahwa pusat Kerajaan Sunda dan Galuh berada di lokasi yang Sunda berpusat di Pakuan Pajajaran Bogor sekarang, sedangkan Kerajaan Galuh berpusat di menjadi kerajaan yang berdaulat, Sunda dan Galuh berada di bawah taklukan Tarumanegara pada masa pemerintahan Maharaja Linggawarman 666-669 M.Setelah Maharaja Linggawarman wafat, tampuk kepemimpinan Kerajaan Tarumanegara diteruskan oleh menantunya yang kemudian bergelar Sri Maharaja Tarusbawa. Pada periode inilah terjadi pergolakan. Penguasa Galuh, Wretikandayun, memberontak dan melepaskan diri dari Tarumanegara. Tahun 612, Wretikandayun mendeklarasikan Kerajaan Galuh sebagai pemerintahan yang ini membuat Tarumanegara semakin melemah hingga akhirnya runtuh karena serangan dari Kerajaan Sriwijaya pada sekitar 650 Masehi. SriSri Maharaja Tarusbawa yang selamat kemudian mendirikan pemerintahan baru bernama Kerajaan Sunda di tepi hulu Sungai Cipakancilan yang termasuk wilayah Bogor sekarang. Baca juga Salakanagara, Kerajaan Sunda Tertua di Nusantara Sejarah Kerajaan Larantuka & Kaitannya dengan Majapahit Sejarah Singkat Majapahit, Pusat Kerajaan, & Silsilah Raja-Raja Perkembangan Kerajaan Sunda Galuh Tahun 732 M, sosok yang dikenal dengan nama Sanjaya berhasil menggabungkan Kerajaan Sunda dan Galuh setelah wafatnya Sri Maharaja Tarusbawa, demikian tulis Ayatrohaedi dalam Sundakala Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-Naskah "Panitia Wangsakerta" 2005.Sanjaya adalah cicit dari pendiri Kerajaan Galuh, Wretikandayun, yang juga suami dari putri Sri Maharaja Tarusbawa, pendiri Kerajaan Sunda. Sanjaya tampil sebagai pemersatu Sunda-Galuh setelah Sri Maharaja Tarusbawa meninggal itu, Sanjaya juga merupakan cucu dari Ratu Shima 674-695 M, pemimpin Kerajaan Kalingga yang berpusat di Jepara, Jawa bagian tengah. Maka, Sanjaya pun berhak memimpin Kalingga sepeninggal Ratu atau Prabu Harisdarma inilah yang nantinya mendirikan Kerajaan Mataram Kuno sekaligus sebagai pendiri Wangsa harus bertakhta di Kerajaan Kalingga, Sanjaya menyerahkan tampuk kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya yang bernama Rakeyan Panaraban 732 -739 M. Baca juga Sejarah Samudera Pasai Pendiri, Masa Jaya, & Peninggalan Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga Sejarah Kerajaan Jenggala Prasasti, Peninggalan, & Silsilah Raja Namun, di bawah pemerintahan Rakeyan Panaraban, Sunda-Galuh kembali terpecah. Pada 739 M, Panaraban membagi kekuasaan kepada kedua putranya, yaitu Sang Manarah yang berkuasa di Kerajaan Galuh dan Sang Bangga yang mendapatkan singgasana Kerajaan Sunda. Berabad-abad lamanya dua kerajaan bersaudara ini menjalani hidup masing-masing. Hingga akhirnya, pada 1482, Kerajaan Sunda dan Galuh bersatu kembali berkat terjadinya pernikahan Jayadewata dari Galuh dengan Ambetkasih dari dan Galuh kembali bersatu di bawah pimpinan Jayadéwata yang menyandang gelar Sri Baduga Maharaja 1482-1521. Pada masa Sri Baduga Maharaja, Kerajaan Sunda dan Galuh dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran Pakuan Pajajaran.Tahun 1579, Kerajaan Sunda-Galuh atau Pakuan Pajajaran diserang Kesultanan Banten yang membuat imperium di telatah Pasundan ini harus mengakhiri riyawat Sunda-Galuh Prasasti Rakryan Jurupangambat Prasasti Citatih Prasasti Cikapundung Prasasti Pasir Datar Prasasti Huludayeuh Prasasti Kawali Prasasti Kebantenan Prasasti BatutulisBaca juga Sejarah Agresi Militer Belanda II Latar Belakang, Tokoh, Dampaknya Sejarah Perundingan Renville Latar Belakang, Isi, Tokoh, & Dampak Kesultanan Aceh Darussalam Sejarah Kejayaan dan Peninggalan - Sosial Budaya Kontributor Alhidayath ParinduriPenulis Alhidayath ParinduriEditor Iswara N Raditya